PENGELOLAAN
BARANG MILIK NEGARA
(STATE PROPERTY MANAGEMENT)
(STATE PROPERTY MANAGEMENT)
Oleh: Pokja RPP Pengelolaan BMN/D pada KPMK
A. PENGANTAR
BMN/D
memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi
dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi konflik kepentingan.
Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah:
- Belum
lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status kepemilikannya
- Belum
tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca
Pemerintah.
- Pengaturan
yang ada belum memadai dan terpisah-pisah (Lampiran I).
- Kurang
adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D.
Makalah ini
dimaksudkan untuk menguraikan mengenai pokok-pokok pengaturan pengelolaan
Barang Milik Negara sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
serta arah penyusunan pedoman pelaksanaan di bidang pengelolaan BMN, sebagai
tindaklanjut dari UU No. 1 Tahun 2004.
B.
PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003
Undang-undang
No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan pengelolaan BMN dituangkan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah. Adapun pokok-pokok pengaturan pengelolaan BMN sesuai
Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
- Adanya
pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44 UU No.
1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan
kewajiban antara pengelola dan pengguna;
- Barang
Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun
2004). Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk
penyelenggaraan Tupoksi masing-masing.
- Pemindahtanganan
barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan,
dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat
persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).
- Persetujuan
DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk
pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa
pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN
diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan
bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan Presiden, dan yang bernilai sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004).
- Penjualan
BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah
(Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2004).
- BMN
yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan
atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat
(1) UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah
sertifikasi tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas
nama Pemerintah RI c.q Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah
RI c.q. instansi/ kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing
alternatif memiliki implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk
sertifikasi tanah-tanah pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan
sertifikasi tanah dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004
diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan oleh Menteri Keuangan selaku
Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi dengan lembaga yang
bertanggungjawab di bidang pertanahan;
- Bangunan
Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004).
- Khusus
untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak dimanfaatkan
untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan.
- BMN
dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas
tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang
digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang
untuk dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf
c dan d UU No. 1 Tahun 2004).
- Ketentuan
mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur dengan
peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004).
C. BATASAN
PENGATURAN DALAM RPP
1. Negara
Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)” adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Pengertian atau batasan ”Negara” dalam kata ”Barang Milik Negara (BMN)” adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
2. Barang
Milik Negara (BMN)
Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Untuk
barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat lebih mudah identifikasinya
sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barang-barang yang berasal dari
perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk
sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal
dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan
perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah
ditetapkan sebagai Barang Milik Negara .
3.
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset management cycle).
Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset management cycle).
D. LANDASAN
PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN
Landasan-landasan
pemikiran yang digunakan dalam pengaturan pengelolaan BMN meliputi:
1. Landasan
Filosofi
Hakekat
BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan pemerintahan dalam
kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pengelolaan
BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan dimaksud.
2. Landasan
Operasional
Landasan
Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan kewenangan institusi atau
Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang dapat dikemukakan sebagai
berikut :
- Pengelolaan
Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah Negara
adalah badan penguasa atas barang negara dengan hak menguasai dan
bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instansi pengelolanya
adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang diberikan wewenang untuk
itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional, Tambang oleh Departemen Sumber
Daya Mineral dan Energi, laut dan kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan
sebagainya. Pengaturan atas pengelolaan barang milik negara dalam ruang
lingkup ini telah diatur dalam berbagai undang-undang.
- Pengelolaan
Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945 adalah Negara
sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki barang atau
sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk menjalankan
roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang didelegasikan
kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah kementerian
negara/lembaga.
3. Landasan
Yuridis
Acuan dasar
dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No 1 Tahun
2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal 50. Untuk itu seluruh
Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali termasuk
penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas.
4. Landasan
Sosiologis
Rasa ikut
memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D merupakan
wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan dalam bentuk
keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan baik. Namun, masih
ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat bahwa BMN adalah milik
rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usaha-usaha untuk memanfaatkan
dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku,
misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan tanah-tanah negara.
Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D antara lain diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengamanan dan optimalisasi
pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan pada kaidah-kaidah atau ketentuan
yang berlaku.
E. AZAS-AZAS
PENGELOLAAN BMN
Pengelolaan
BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:
- Azas
fungsional
Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai fungsi, wewenang, dan tangung jawab masing-masing. - Azas
kepastian hukum
Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan. - Azas
transparansi (keterbukaan)
Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN. - Efisiensi
Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara optimal. - Akuntanbilitas
publik
Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. - Kepastian
nilai
Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN. Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca Pemerintah dan pemindahtanganan BMN.
F. LINGKUP
PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP
Untuk
merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam proses
pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi:
- Pengertian,
maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN;
- Pejabat
pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan pengguna BMN
beserta hak dan kewajibannya);
- Perencanaan
Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan kebutuhan BMN dan
perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang menjadi BMN),
terutama yang berasal dari pengadaan;
- Penguasaan,
Penetapan Status dan Penggunaan, mengenai ketentuan penetapan BMN pihak
yang berhak menggunakan dan batasan hak, kewenangan dan kewajiban dalam
penggunaan BMN.
- Pemanfaatan,
yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang berhak
menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan kewajiban
dalam pemanfaatan BMN;
- Pengamanan,
yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi administrasi, hukum
dan fisik;
- Penilaian,
tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka pemanfaatan,
pemindahtanganan, dan pelaporan BMN;
- Penghapusan,
mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut penghapusan, dan prosedur
penghapusan;
- Pemindahtangan,
mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan, pertukaran, hibah,
penyertaan pemerintah atas BMN;
- Penatausahaan,
pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada pada seluruh
kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat dan
kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha lainnya;
kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan;
- Pengawasan/Pengendalian,
pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian atas penggunaan,
pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN;
- Sanksi/Tuntutan
Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN
G. TAHAP
PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP
Tahap-tahap
yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud meliputi:
- Seminar
”Naskah Akademis”;
- Menghimpun
masukan-masukan dari nara sumber terkait;
- Penyusunan
pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN;
- Drafting
materi ke dalam RPP
Tahapan-tahapan
berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi:
- Penyelesaian
drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya
- Seminar
draft RPP
- Penyeahan
RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada Sekretariat
Nrgara;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar