I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sejak
era reformasi tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model
pembangunan yang sentralistik menjadi desentralistik. Pembagian kewenangan
menjadi bagian dari arah kebijakan untuk membangun daerah yang dikenal dengan
istilah kebijakan “Otonomi Daerah”. Hal tersebut ditandai
dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia .
Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan
pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing)
dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan
aspirasi masyarakat. Pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap
cara-cara mempertanggungjawaban keuangan pusat, dan khususnya daerah.
Manajemen
keuangan daerah menjadi begitu penting bagi aparat pemerintahan di daerah
karena merupakan konsekwensi logis dari perspektif manajemen perimbangan antara
keuangan pusat dan daerah. Transformasi nilai yang berkembang dalam era
reformasi ini adalah meningkatnya penekanan proses akuntabilitas publik atau
bentuk pertanggungjawaban horisontal, khususnya bagii aparat pemerintahanan di
daerah, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban vertical kepada
pemerintahan atasan dalam segala aspek pemerintahan, termasuk aspek
penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan Surat
Keputusan Mendagri No. 29 Tahun 2002.
Keberhasilan perubahan ini, pada saatnya tergantung pada
efektivitas, transparansi, dan manajemen yang efektif juga kemampuan sumber
daya publik darimanapun asal mereka. Seberapa baik proses yang mendasari ini
dikelola di tingkat distrik dan propinsi yang karenanya bertambah minat dari
pemerintah pusat maupun komunitas donor.
Diantara pertanyaan mendasar
yang perlu diperhatikan adalah : seberapa transparan pemerintah daerah dalam menggunakan
kewenangan yang baru mereka peroleh itu dan seberapa terlindungi proses
tersebut dari jangkauan dan kolusi para elit daerah? Bagaimanakah mereka akan
meningkatkan pendapatan publik daerah – secara lebih adil dan dengan lebih
terprediksi ataukah melalui pajak dan pungutan yang lebih agresif dan lebih
membebani? Seberapa efektif dan efisienkah sumber daya publik dipergunakan dan
dipertanggungjawabkan, dan dengan integritas dan pengawasan yang seperti apa
dari para stakeholder/pihak yang berkepentingan? Jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lainnya pastinya akan
bervariasi antar pemerintah daerah, namun variasi inilah yang dibutuhkan oleh
kita untuk mendiagnosa, menilai, dan memahami.
II. Pembahasan
2.1 Pengertian Dasar
Manajemen
keuangan daerah merupakan bagian dari
Manajemen Pemerintahan Daerah selain Manajemen Kepegawaian dan
manajemen teknis dari tiap-tiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan
publik, atau kita sebut dengan Manajemen Pelayanan Publik dan Manajemen
Administrasi Pembangunan Daerah.
Pengertian
Manajemen keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah mencari
sumber-sumber pembiayaan dana daerah melalui potensi dan kapabilitas yang
terstruktur melalui tahapan perencanaan yang sistematis, penggunaan dana yang
efisien dan efektif serta pelaporan tepat waktu.
Manajemen
Pelayanan Publik yang dimaksud adalah pencerminan pemberian kewenangan wajib
atas otonomi daerah dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari antara lain:
Pemerintahan Umum, Pertanian; Perikanan dan Kelautan, Pertambangan dan Energi;
Kehutanan dan Perkebunan; Perindustrian dan Perdagangan; Perkoperasian;
Penanaman Modal; Ketenagakerjaan; Kesehatan; Pendidikan dan Kebudayaan; Sosial;
Penataruangan; Pemukiman; Pekerjaan Umum; Perhubungan; Lingkungan Hidup;
Kependudukan; Olahraga; Keparawisataan; dan Pertanahan. Hal ini, biasanya
tercermin dengan adanya dinas-dinas daerah dan struktur organisasi Pemda yang
berkaitan dengan luas dan ruang lingkup tugas tersebut.
Pengertian
keuangan daerah menurut Bahrullah Akbar (2002) adalah “ Semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka anggaran dan
pendapatan dan belanja daerah (APBD).”
Oleh karena
itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD yaitu;
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan.
Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik
dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggungjawab. Dari definisi keuangan daerah tersebut melekat 4
(empat) dimensi (Bahrullah Akbar, 2002):
a) Adanya dimensi hak dan kewajiban;
b) Adanya dimensi tujuan dan
perencanaan;
c) Adanya dimensi penyelenggaraan
dan pelayanan publik; dan
d) Adanya dimensi nilai uang dan
barang (investasi dan inventarisasi).
Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD
merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat
atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dana tersebut terdiri dari dana dekonsentrasi (PP No. 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) dan dana Desentralisasi. Dana
dekonsentrasi berbentuk dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi
khusus. Sedangkan yang dimaksud dana desentralisasi adalah yang bersumber dari
pendapatan asli daerah (PAD).
Tujuan keuangan daerah menurut Nick Devas,
et.al, (1989):
1. Akuntabilitas (Accountability)
Pemda harus
mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang
berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain, adalah
Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok kepentingan
lainnya (LSM);
2. Memenuhi kewajiban
Keuangan
Keuangan
daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan
keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;
3. Kejujuran
Urusan
keuangan harus diserahkan pada pegawai profesional dan jujur, sehingga mengurangi
kesempatan untuk berbuat curang.
4. Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah
Tata cara
pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap
program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya
serendahrendahnya dengan hasil yang maksimal.
5. Pengendalian
Manajer
keuangan daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus melakukan
pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau melalui
akses informasi mengenai pertanggungjawaban keuangan.
2.2 Fungsi Manajemen Keuangan Daerah
Fungsi
manajemen terbagi atas tiga tahapan utama, yaitu: adanya proses perencanaan,
adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan pengendalian/ pengawasan. Oleh
karena itu fungsi manajemen keuangan daerah terdiri dari
unsur-unsur pelaksanaan tugas yang dapat terdiri dari tugas (Bahrullah Akbar,
2002) :
1)
Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;
2)
Proses
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3)
Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;
4)
Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;
5)
Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala Daerah; dan
6)
Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Dari
keseluruhan fungsi tersebut akan bermuara pada terciptanya sistem informasi
keuangan daerah yang transparan dan akuntabel.
Dalam arti sempit manajemen keuangan daerah merupakan
tugas kebendaharawanan, dari peran kas daerah atau bendahara umum daerah sampai
dengan peran bendaharawan proyek, bendaharawan penerima, bendaharawan barang.
Secara garis besarnya, ada dua hal tugas pokok atau bidang yang harus disadari
bagi seorang manajer keuangan daerah, yaitu: pekerjaan penganggaran dan
pekerjaan akuntansi, dimana dalam pelaksanaan keduanya berinteraksi dan saling
melengkapi terutama dalam r a n g k a pengendalian dan pengawasan manajemen
(BidangAuditing). Secara aplikatif dua tugas pokok tersebut terekam dalam
Kepmendagri No. 29 Tahun 2000 tentang “Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban
dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD”.
2.3.
Reformasi Manajemen Keuangan Daerah
Secara garis besar, manajemen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.
Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan
otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan
perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara
lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi
anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan,
pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No.
5 tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban
anggaran daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi
pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur
untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).
Aspek
utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke
performance budget.
Traditional
budget merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a)
cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan
(b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain
yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c)
cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan
ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan
untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak
tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang
dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya
perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi
dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan
anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value
for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan
anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas
yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode
penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo,
2002):
a) Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara
anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
b) Pendekatan incremental menyebabkan
sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
c) Lebih berorientasi
pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak
dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya,
atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis
dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
d) Sekat-sekat antar
departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai.
Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,
kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
e) Proses anggaran
terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
f) Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran
tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal
tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan
kolusi).
g)
Sentralisasi
penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan
lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget
padding atau budgetary slack.
h) Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga
gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti
seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran.
i)
Aliran informasi
(sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme
pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan
Performance budget pada dasarnya adalah sistem
penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian
hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan
publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi
secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami
sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur
urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat
kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah.
2.4. Perbedaan Anggaran
Tradisional dengan Anggaran NPM
Secara garis besar
terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua
pendekatan tersebut adalah (Mardiasmo, 2002) :
(a) Anggaran tradisional atau anggaran
konvensional; dan
(b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan
pendekatan New Public Management.
Tabel 1
Perbandingan Anggaran
Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM
ANGGARAN TRADISIONAL
|
NEW PUBLIC MANAGEMENT
|
Sentralistis
|
Desentralisasi & devolved management
|
Berorientasi pada input
|
Berorientasi pada input, output, dan outcome (value
for money)
|
Tidak terkait dengan
perencanaan jangka panjang
|
Utuh dan komprehensif
dengan perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan sasaran dan
target kinerja
|
Batasan departemen yang kaku (rigid
department)
|
Lintas departemen (cross department)
|
Menggunakan aturan klasik: Vote accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning Programming
Budgeting System
|
Prinsip anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Sumber
: Mardiasmo (2002)
Traditional budget didominasi oleh penyusunan
anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu
proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi
anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas
anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan
kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat
menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah
atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan
inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan fenomena
pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Reformasi sektor publik yang salah satunya
ditandai dengan munculnya era New Public Financial Management telah
mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam
perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut,
muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik
anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB),
dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik
tersebut cenderung memiliki karak-teristik umum sebagai berikut (Mardiasmo,
2002):
1. Komprehensif/komparatif
2. Terintegrasi dan lintas departemen
3. Proses pengambilan keputusan yang rasional
4. Berjangka panjang
5. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6. Analisis total cost dan benefit
(termasuk opportunity cost)
7. Berorientasi input, output, dan outcome (value
for money), bukan sekedar input.
8. Adanya pengawasan kinerja.
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus
tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran)
yang baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol
kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi (Mardiasmo, 2002):
·
Akuntabilitas;
·
Value for Money;
·
Kejujuran
dalam mengelola keuangan publik (probity);
·
Transparansi;
dan
·
Pengendalian.
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti
bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan
harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan
masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku
sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan,
bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan
dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik.
Value for money
berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang
paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public
money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna).
Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai
target-target atau tujuan kepentingan publik.
Kejujuran dalam
Manajemen Keuangan Publik (Probity)
Manajemen keuangan daerah harus
dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi,
sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh
DPRD dan masyarakat. Transparansi manajemen keuangan daerah pada akhirnya akan
menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya
sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel,
dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran
daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang
dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians
(selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera
mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan.
Dalam
upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan
dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
- Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
- Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
- Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
- Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
- Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
- Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
- Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
- Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
- Aspek pembinaan dan pengawasan yang
meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat
guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
- Pengembangan sistem informasi
keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan
pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi
sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan
mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah
yang diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:
- Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
- Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
- Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
- Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
- Anggaran Daerah harus mampu
menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
- Anggaran Daerah harus dapat
memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan
pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.
2.5 KONSEP PERENCANAAN ANGGARAN DAERAH
Pengelolaan anggaran daerah merupakan
salah satu perhatian utama para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut,
berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah ditetapkan dan mengalami
perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem
pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai
tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat
desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan
keuangan daerah.
Secara garis besar, pengelolaan
(manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen
penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Penetapan berbagai peraturan merupakan
wujud dari
reformasi pengelolaan keuangan pemerintah. Reformasi tersebut dilaksanakan di
lima bidang utama, yaitu:
1. Perencanaan dan
penganggaran
2. Pelaksanaan anggaran
3. Perbendaharaan dan
pembayaran
4. Akuntansi dan
pertanggungjawaban
5. Pemeriksaan
Tujuan reformasi
pengelolaan keuangan tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dan partisipasi
masyarakat secara aktif. Berikut ini akan dibahas secara
singkat konsep utama manajemen keuangan daerah berdasarkan peraturan terbaru,
yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun
2006.
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan
Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
1.
hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi
daerah serta melakukan pinjaman;
2. kewajiban daerah
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan daerah;
4.
pengeluaran daerah;
5.
kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
6.
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah
dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
3. Kesimpulan
Salah satu kunci keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan
mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian,
diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi
masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih
bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Sejalan
dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya
daerah secara optimal.
Dengan
semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap
Pemerintah Pusat, Daerah dituntut melaksanakan reformasi manajemen keuangan
daerah, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis,
serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian
daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong era
perekonomian global.
Daftar pustaka
Mardiasmo (2002) Otonomi
Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, makalah pada
Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia , Jakarta .
Mardiasmo (2002). Otonomi dan Manajemen keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar